Minggu, 22 November 2009

Laksamana MALAHAYATI

MALAHAYATI (Panglima Armada para Janda)

Dia adalah laksamana yang jadi panglima armada wanita pertama di dunia.

Perang itu pun pecah di Teluk Haru (Selat Malaka) di pengujung abad ke-16. Armada Portugal bentrok dengan armada Aceh. Kala itu armada Tanah Rencong dipimpin langsung oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil, pemimpin Aceh Darussalam selama 1589-1604, yang dibantu dua laksamana.

Pertempuran besar itu berakhir dengan kemenangan armada Aceh. Namun, korban yang jatuh di kedua belah pihak tidaklah sedikit. Portugal kehilangan ribuan serdadunya. Sekitar 1.000 mujahid Aceh juga meninggal, termasuk dua laksamananya. Salah satu laksamana itu adalah suami dari Laksamana Malahayati,

Dalam buku Malahayati Srikandi dari Aceh (Gema Salam, 1995) karya Solichin Salam disebutkan bahwa Malahayati bernama lengkap Keumala Hayati. Tanggal kelahirannya tidak dapat dipastikan, tapi dia diketahui adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayah adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah, yang memerintah Aceh sekitar 1530-1539. Sultan Salahuddin adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerajaan Aceh Darussalam.

Malahayati adalah alumni jurusan angkatan laut di Mahad Baitul Makdis, akademi militer kerajaan Aceh yang dibangun atas bantuan pemerintahan Usmaniyah Turki di bawah Sultan Selim II. Di akademi yang sekitar 100 instrukturnya dari Turki inilah konon Malahayati bertemu dengan seorang calon perwira yang lebih senior yang kemudian menjadi suaminya setelah keduanya lulus. Sang suami kemudian menjadi seorang laksamana dan Malahayati diangkat Sultan menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam.

Karena suaminya gugur dalam perang Teluk Hara, maka Laksamana Malahayati memohon kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk sebuah armada yang semua prajuritnya adalah para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran itu. Sultan mengabulkan dan mengangkat Laksamana Malahayati sebagai Panglima Armada Inong Balee (Armada Perempuan Janda).

Menurut Rusdi Sufi, dalam artikel "Laksamana Keumalahayati" di buku Wanita Utama dalam Lintasan Sejarah terbitan Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita, salah satu kemungkinan alasan Sultan Al Mukammil mengangkat Malahayati sebagai laksamana adalah banyaknya intrik di istana kala itu. Sang Sultan sudah sepuh, usianya sekitar 94 tahun, sehingga isu mengenai suksesi dan upaya menyingkirkannya merebak di istana. Hal ini membuat Sultan curiga terhadap kaum lelaki, sehingga mengangkat perempuan sebagai laksamana. Pada waktu yang sama Sultan mengangkat pula Seorang perempuan, Cut Limpah, sebagai pemimpin dewan rahasia istana (intelijen).

Armada Inong Balee pimpinan Malahayati berpangkalan di Teluk Lamreh Kraung Raya. Bentengnya bernama Kuto Inong Balee yang dibangun di atas perbukitan yang tingginya 100 meter dari permukaan laut dan menghadap ke teluk. Temboknya, yang menghadap ke laut, tingginya tiga meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke laut. Sisa-sisa benteng itu masih ada di Aceh hingga kini.

Armada Inong Balee pada awal pembentukannya berkekuatan sekitar 1.000 janda. Tapi kemudian berangsur-angsur membesar menjadi 2.000 orang, yang tak hanya beranggotakan janda tapi juga gadis-gadis muda yang gagah berani.

Sebuah laporan dari masa itu menyatakan armada yang dipimpin Malahayati memiliki 100 kapal perang bersenjata meriam, yang sebagian mampu mengangkut 400-500 orang. Kekuatan angkatan laut Aceh pada masa itu termasuk yang terkuat di Asia Tenggara.

Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Laksamana Malahayati adalah dalam menangani empat kapal dagang Belanda di bawah pimpinan dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman. Armada dagang yang dipersenjatai ini memasuki pelabuhan Banda Aceh pada 21 Juni 1599.

Ketika armada De Houtman berlabuh, mereka diterima selayaknya kapal dagang negara sahabat. Namun, air susu dibalas air tuba. Dua bersaudara itu mengkhianati kepercayaan Sultan Aceh. Mereka berkhianat dengan melakukan memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.

Sultan lantas memerintahkan Panglima Armada Inong Balee Laksamana Malahayati untuk menyelesaikan pengkhianatan itu. Armada itu kemudian menyerbu armada De Houtman. Pertempuran satu lawan satu pun pecah di geladak kapal-kapal Belanda. Cornelis de Houtman mati ditikam rencong Malahayati dan Frederijk menjadi tawanan. Frederijk dipenjara selama dua tahun. Selama di bui, dia menyusun sebuah kamus bahasa Melayu-Belanda dan menerjemahkan injil ke bahasa Melayu.

Laksamana Malahayati memegang banyak jabatan penting. Selain memimpin Armada Inong Balee, dia juga menjadi panglima angkatan laut kerajaan Aceh dan komandan pasukan wanita pengawal istana. Malahayati juga dikenal sebagai seorang diplomat ulung.

Setahun setelah peristiwa De Houtman, Aceh dikhianati lagi oleh dua kapal dagang Belanda pimpinan Paulus van Caerden. Kapal Belanda itu merampok dan menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh yang bermuatan lada di pantai Aceh.

Akibat kelakukan Van Caerden, kedatangan armada dagang Belanda pimpinan Laksamana Jacob van Neck kena getahnya. Ketika rombongan Van Neck yang tak tahu apa-apa itu tiba di Aceh pada 31 Juni 1601, rombongan itu langsung ditangkap pasukan Malahayati.

Saat itu Belanda sedang sibuk berjuang melawan Spanyol yang ingin merdeka dan tak ingin menambah masalah dengan Aceh. Prins Maurits lalu mengirim surat kepada Sultan yang berisi permohonan maaf atas peristiwa masa lalu dan ingin mempererat hubungan Belanda dengan Aceh.

Maurits mengirim utusannya, sebuah rombongan yang terdiri dari empat kapal yang dipimpin Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker. Mereka tiba di Aceh pada 23 Agustus 1601. Kedua pemimpin itu berunding dengan Laksamana Malahayati dan menghasilkan beberapa keputusan, yakni perdamaian antara Belanda dengan Aceh, Frederijk de Houtman dibebaskan, Belanda membayar ganti rugi atas kapal-kapal yang dibajak Van Caerden sebesar 50 ribu gulden, dan Sultan mengirim tiga duta ke Belanda sebagai balasan.

Setelah Belanda, giliran Inggris yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Aceh. Ratu Elizabeth I (1558-1603) mengirim utusan yang dipimpin Laksamana Sir James Lancester ke Aceh pada 6 Juni 1602. Kedatangan Lancester disambut Laksamana Malahayati. Kedatangan utusan Inggris ini bertepatan dengan perayaan ulang tahun Sultan Aceh, yang sangat bangga dengan kunjungan tersebut. Perundingan Malahayati dengan Lancester berlangsung dengan baik dan menyepakati terbangunnya hubungan diplomatik kedua kerajaan.

Malahayati wafat dalam sebuah pertempuran laut melawan armada Portugis di Teluk Krueng Raya. Tanggal wafatnya tak diketahui hingga kini, namun makamnya masih ada di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah bukit di desan nelayan Krueng Raya, 34 kilometer dari Kota Banda Aceh. Dia dimakamkan berdampingan dengan wakilnya, Laksamana Muda Pocut Meurah Inseun.

Malahayati adalah laksamana yang jadi panglima armada wanita pertama di dunia. Sebagai perbandingan, laksamana wanita pertama yang pernah tercatat dalam sejarah adalah Artemisya, permaisuri Raja Mosul di Anatolia, yang hidup pada tahun 480 sebelum Masehi.

Sebenarnya Aceh telah melahirkan banyak tokoh perempuan. Selain Cut Nyak Dien dan Cut Meutia yang sudah terkenal, Aceh juga memiliki tokoh-tokoh lain, seperti Putri Pahang, permaisuri dari Sultan Iskandar Muda, yang menggagas pembentukan Balai Majelis Mahkamah Raya, semacam parlemen di masa kini. Sayang, belum banyak literatur yang menggali kehidupan dan peran mereka dalam sejarah

SUMBER : http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwOQ==&dokm=MDQ=&dokd=Mjc=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=ODYz
sumber lain dapat dilihat di http://www.hagemman.wordpress.com/2009/04/28/laksamana-malahayati/

Haji Omar Said TJokroaminoto (Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia)

edit dr tulisan Humaidi

Dalam kontruksi sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan nasionalis-agama tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta, tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an.
Beberapa studi sejarah mengenai hal diatas, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu, kelompok nasionalis-sekuler senantiasa selalu menjadi kelompok pemenang. Klaim ini mungkin benar, tetapi pada beberapa kasus, kemenangan kelompok sekuler bukannya tanpa syarat. Terdapat banyak contoh dimana pergumulan politik di Indonesia telah menghasilkan kultur politik hibrida, yang mencampur-baurkan ide-ide yang mungkin secara prinsip memiliki perbedaan. Dengan bahasa lain, kepentingan “kelompok Islam” juga sudah membaur didalamnya.
Adanya kultur hibrida ini, menyiratkan bahwa kontruksi religiusitas/keberagamaan di Indonesia mengalami proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah “taken for granted”, melainkan mengalami adaptasi dalam bentuk akulturasi (percampuran dengan budaya setempat). Dalam konteks politik, hal ini sangat tampak terjadi ketika munculnya pergerakan nasional. Ide-ide nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi wabah di seantero dunia, mulai di pikirkan oleh para pemikir Islam di Indonesia. Hasilnya, lahirlah pemikiran yang menyebutkan bahwa nasionalisme dan Islam adalah suatu hal yang memiliki kepentingan yang sama, tidak bertentangan.
Tulisan yang coba disajikan dalam paper ini, mencoba menelusuri faktisitas cara berfikir seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Hal ini dinilai penulis penting, mengingat Tjokroaminoto adalah kunci untuk membuka tabir pemikiran bagaimana tokoh Islam memikirkan nasionalisme dalam konteks ke-Indonesiaan, melewati tapal batas sektarian dan primordial. Selain itu mempelajari cara manusia berfikir pada zamannya, dapat menggambarkan sebuah struktur jiwa jaman yang sedang membentuk –bukan terbentuk-. Dan yang paling penting, belum adanya sejarawan yang mencoba memikirkan pemikiran Tjokro secara tematis.
Pemikiran teman-teman seangkatan Tjokro, seperti Haji Misbach, Mas Marco, Dr. Sutomo, Wahidin serta Tjipto Mangunkusumo sudah banyak ditulis orang. Bahkan Sukarno, Kartosuwiryo dan Musso, yang notabenenya adalah murid-murid Tjokro juga telah banyak ditulis orang. Lantas mengapa Sang Guru, kita telantarkan, padahal -jika boleh mengklaim- Tjokro adalah guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Sadar atau tidak, ia adalah ruh yang sesungguhnya bagi aktivis pergerakan hingga sekarang.
Tjokroaminoto dan Perjuangan Nasionalisme
Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo. Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.
Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro.[3] Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro.[4] Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro.[5] Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.
Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.[6] Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.
Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.[7]
Pada Agustus 1921, Tjokro diciduk penguasa Belanda. Hal ini merupakan kesempatan untuk membersihkan nama baiknya, karena dipenjara artinya menjadi martir dan memberinya kekuatan dimasa yang akan datang.[8] Pada April 1922, ia dibebaskan tetapi ia tidak kembali ke Jogjakarta, melainkan ia mendirikan markas baru di Kedung Jati (sebuah kota kecil strategis yang merupakan titik temu jalur kereta api Semarang dan Jogjakarta). Dikota ini, ia mulai memofuskan diri pada persatuan Islam, tetapi independen atau lepas dari Muhammadiyah. Pada tahun itu juga, ia mendirikan Pembangunan Persatuan bersama Raja Mogok, Soepjopranoto untuk menarik dukungan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) kepada CSI.[9] Setelah propagandanya gagal, ia pun kembali ke Markas CSI di Jogjakarta. Kelak dari kegagalannya inilah, pada akhirnya Tjokro mulai merubah pandangan persatuan nasionalismenya, menuju pandangan nasionalisme yang dibangun atas dasar Islam. Jika sebelumnya, Islam dipandang secara kurang serius, hanya berfungsi sebatas pemaknaan simbolik. Maka sesudahnya ia mulai merapatkan barisan nasionalisme, dengan menyatukan kelompok Islam terlebih dahulu.
Menuju Pemikiran Nasionalisme-Islam
Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme).
Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI.[10] Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI.[11] Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa.[12] Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
Sambil merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari kelompok Islam-tradisional yang kemudian mendirikan NU.[13] Selanjutnya pecah pemberontakan PKI pada tahun 1925, yang kontra-produktif terhadap gelombang pasang pergerakan nasional. Hal ini juga menimpa kegiatan Tjokroaminoto dan PSI-nya.
Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, PSI masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama.[14] Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik nasionalis-sekuler serta kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI.
Dalam posisi ini, Tjokro bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII akhirnya keluar dari PPPKI.[15] Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal dunia pada usia 52 tahun.
Pemikiran-Pemikiran Tjokroaminoto
Sebenarnya, dalam paparan kehidupan Tjokro diatas, sudah menyiratkan sejauhmana Tjokro memikirkan nasionalisme dan Islam. Namun, penulis melihat ada dua perbedaan dalam diri Tjokro dalam menafsir dan memahami nasionalisme dan Islam. Dan perubahan hal ini terjadi ketika Tjokro berumur 40 tahun, yaitu pada 1922. Penulis memberi istilah bagi masa sebelum dan sesudah Tjokro berumur 40 tahun dengan dikotomis “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”. “Tjokro Muda” adalah Tjokro yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Tjokro Tua” adalah Tjokro yang mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.
Dalam paruh “Tjokro Muda”, kita dapat menemui klaim kecenderungan Islam sebagai alat. Dalam sebuah pidatonya disebuah vargedering di Semarang, Tjokro bercerita mengenai maksud pendirian SI sebagai sebuah perkumpulan yang dipertalikan agama. Lebih jauh ia mengungkapkan:“
Dengan alasan agama itu, kita akan berdaya upaya menjunjung martabat kita kaum bumi putera dengan jalan yang syah. Menurut dalil dari kitab (kita lupa dalilnya dan namanya kitab tadi, red), orang pun mesti menurut pada pemerintahan rajanya. Siapakah sekarang yang memerintahkan pada kita, bumi putra? Ya, itulah kerajaan Belanda, oleh sebab itu menurut syara agama islam juga, kita harus menurut kerajaan Belanda. Kita mesti menepi dengan baik-baik dan setia wet wet dan pengaturan belanda yang diadakan buat kerajaan belanda. “[16] Setelah itu ia berkata dengan nada lantang“ lantaran diantara bangsa kita banyaklah kaum yang memperhatikan kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum yang bodoh. Maka kesatriaan kaum yang begitu sudah jadi hilang dan kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat pantat”[17]
Untuk mengejar ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam cerita tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik, dengan menggunakan pendekatan “world view” masyarakat Jawa. Cupu diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah merujuk kepada kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia mengorbankan diri demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam, cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan budaya hinduisme-jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.[18]
Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan nasional. Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.[19] Pada Kongres CSI 1917 di Batavia, melihat tantangan radikalisme dari Semaun. Tjokro bahkan dengan berani mengatakan:

“Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme. CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerjasama dengan saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.
Dengan demikian, apabila kita melihat pidato diatas, maka istilah “sama-rasa” secara awam merujuk kepada konsepsi pembentukan kelas khas Marxis. Entah, apakah disini kosa-kata ini muncul sebagai sesuatu konsep yang sadar, atau hanya bersifat reaktif terhadap Semaun yang saat itu semakin radikal.
Memang, terdapat juga kecenderungan bahwa pada beberapa kesempatan, Tjokro mulai berfikir serius mengenai Islam. Misalnya, adalah kasus artikel “Djojodikoro” dalam Djawi Hiswara yang ditulis pada awal Januari 1918. Dalam artikel itu Martodharsono menulis bahwa “Gusti Kandjeng Nabi Rasul minum A.V.H gin, minum opium dan kadang suka menghisap opium”. Artikel ini mendapat perhatian Tjokro untuk menunjukkan simpatinya terhadap Islam. Tjokro membalas artikel itu dengan tulisan tandingan, bahkan juga ia membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslim.[21] Namun terbukti kemudian, bahwa kerja-kerja Tjokro ini bukan hanya bertujuan membela Islam, tetapi juga sebagai alat atau upaya untuk memperluas jaringan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berdiri cabang-cabang SI yang berjalan seiring dengan pendirian TKNM.
Hal yang menandai perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam, adalah pada 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur 40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan, sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal! Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam.
Pemahaman “baru” Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme didalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.[22]
Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah ideology, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis (diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia di curigai berpaham Wahabiah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide pan-Islamisme sudah membayang dalam pemikiran Tjokro.
Pada akhirnya kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro. Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul sebagai kekuatan yang menguasainya. Bahkan ia juga semakin keras berpidato mengenai dikotomi nasionalisme Islam dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan-Islamis Tjokro ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam maupun sekuler, dalam dikotomi ini, di akui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme.
Catatan Penutup
Setelah menelusuri kehidupan dan sedikit pemikiran Tjokro, kita akan mendapatkan kesimpulan singkat bahwa Tjokro berjuang bagi nasionalisme dan juga bagi Islam. Pemahaman Islam pada diri Tjokro, memang tidak terlalu mendalam, tetapi cukup besar diarahkannya bagi suatu praktik propaganda politik. Satu hal yang penting bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas pertautan zamannya. Islam ditemukannya sebagai suatu ideology, dari lorong sempit terali penjara dan juga dari kegagalannya membangun komunitas di Kedung Jati. Islam ditemukannya, setelah nama baiknya dihempaskan akibat skandalnya yang diungkap Dharsono.
Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia.
Selain melihat Tjokro dari konteks ke-Indonesiaan, tipekal Tjokro adalah type-type manusia perubah. Ia identik dengan Al-Afghani, yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme. Tjokro dan Afghani, juga sama-sama menemui kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya, bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting, karena menggulirkan sebuah momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan Islam Politik. Al-Afghani memberi inspirasi kepada Abduh, Ridha dan juga Iqbal dalam praktik pergerakan Mesir dan Pakistan. Sedangkan Tjokro, justru lebih plural, karena inspirasinya mengalir bagi nasionalisme-Islam bahkan komunis. Adapun kelompok Islam yang menjadikannya sebagai inspirasi adalah kaum modernis Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Kasman, Prawoto dan tentu saja anak-anaknya, Anwar dan Harsono. Dengan demikian, Tjokro merupakan mitra dialog aktif bagi zamannya dan juga bagi zaman sesudahnya. Dan ruh Tjokro, masih akan terus “bergerak”, ketika Islam diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis!
DAFTAR PUSTAKA
Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Brackman, Arnold. Indonesian Communism, New York: Preager, 1963.
Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.
Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982.
Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988
Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY:Cornell University Press, 1965.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
Tjokroaminoto, HOS. Sosialisme di dalam Islam, dikutip dari Islam, Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000

Sabtu, 21 November 2009

PEMILU 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan ?penyimpangan? tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR

---------------------------------------------------------------------------------
No Partai/Nama Daftar Suara %(prosentase) Kursi
---------------------------------------------------------------------------------
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7. Partai Katolik 770.740 2,04 6
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12. Partai Buruh 224.167 0,59 2
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16. Murba 199.588 0,53 2
17. Baperki 178.887 0,47 1
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19. Grinda 154.792 0,41 1
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24. AKUI 81.454 0,21 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -
----------------------------------------------------------------------------
Jumlah 37.785.299 100,00 257


Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.

-------------------------------------------------------------------------------
No. Partai/Nama Daftar Suaraa %(prosentase) Kursi
-------------------------------------------------------------------------------
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7. Partai Katolik 748.591 1,99 10
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12. Partai Buruh 332.047 0,88 5
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16. Murba 248.633 0,66 4
17. Baperki 160.456 0,42 2
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19. Grinda 157.976 0,42 2
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24. AKUI 84.862 0,22 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33. PIR NTB 33.823 0,09 1
34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1

lain-lain 426.856 1,13

Jumlah 37.837.105 514

Jumat, 20 November 2009

Penelitian sejarah

Berdasarkan teknik pengumpulan datanya , penelitian sejarah dibagi 2 yaitu:
a. penelitian lapangan: data diperoleh dari wawancara,tempat kejadian,tempat penemuan,
b. penelitian kepustakaan/ dokumenter: data diperoleh dari kitab kuno, buku-buku, arsip-arsip, rekaman video, naskah pidato

Penulisan kembali peristiwa masa lalu
Tahap penelitian sejarah dan kegiatannya
NO Tahap Kegiatan
1 Menentukan topik Membuat daftar alternatif pilihan Menentukan topik penelitian
2 Heuristik(mengumpulkan sumber) Wawancara,ke museum,ke perpustakaan, membaca buku, internet
3 Verifikasi (menguji data) Kritik Intern ( thdp isi) dan Ekstern ( thdp keaslian)
4 Interpretasi Menafsirkan
5 Historiografi Menyusun kisah sejarah berdasar norma/aturan

Subjektifitas dalam penulisan sejarah
a. sikap berat sebelah
b. Prasangka kelompok
c. Pandangan hidup yang berbeda tentang penggerak sejarah

Ilmu Dasar dan ilmu bantu Sejarah
Ilmu dasar sejarah:
a. Kronologi : ttg waktu
b. Ikonografi : ttg arca
c. Efigrafi : ttg tulisan kuno
d. Numismatik : ttg mata uang kuno

Ilmu bantu sejarah:
a. Arkeologi : benda purbakala
b. Sosiologi: manusia dan interaksi sosialnya
c. Antropologi: manusia dan kebudayaannya
d. Kimia :unsur-unsur dalam zat,reaksi-reaksi dll
e. Fisika: perubahan energi,gerak dll

Prinsip-prinsip dasar dalam penelitian sejarah Lisan
Tokoh-tokoh sejarah dan kegiatannya
Herodotus : Sejarawan Yunani Pertama ( bapak Sejarah)
Thucydides: peneliti sejarah lisan dalam perang Peloponesos
James Morison: lebih suka menggunakan istilah penelitian lisan: pengumpulan bahan-bahan melalui perbincangan atau wawancara dengan satu orang atau lebih mengenai satu masalah yang sedang dipelajari oleh pewawancara.

Penelitian lisan mencakup 2 hal:
a. sejarah lisan : sumber langsung dari pelaku/saksi
b. tradisi lisan : sumber dari generasi ke 2, ke 3 dst

Kelebihan dan kelemahan sejarah lisan
Kelebihan Sejarah Lisan:
a. pengumpulan data bisa dua arah/lebih lengkap
b. penulisan lebih demokratis
c. melengkapi kekurangan data /informasi
Kelemahan Sejarah Lisan:
a. terbatasnya daya ingat seseorang/keakuratan data
b. subjektifitas penulis

Jenis-jenis Sejarah
Berdasarkan Cakupan wilayah pembahasan
a. Sejarah Dunia : Perang Dunia I,II, Perang Asia Timur Raya
b. Sejarah Nasional: Masa Pergerakan Nasional,G 30 S, Reformasi
c. Sejarah Lokal : Perkembangan Agama Islam di Malang, Perkembangan Perdagangan di Dampit abad XVII-XIX

Sasaran sejarah lokal menurut HPR.Finberg:
a. asal-usul
b. pertumbuhan
c. perkembangan
d. kejatuhan
( dari kelompok masyarakat lokal)

Aspek multidimensional sejarah lokal:
a. aspek sosial
b. aspek budaya
c. aspek politik
d. aspek agama
e. aspek teknologi
f. aspek ekonomi

Ciri-ciri pemberontakan rakyat menurut Sartono Kartodirjo:
a. singkat
b. lokal
c. tradisional
d. radikal

Proses-proses pembentukan kebudayaan:
a. difusi
b. adopsi
c. adaptasi
d. asimilasi
e. akulturasi

Objek Sejarah kebudayaan:
a. artefak
b. peninggalan bangunan
c. ornamen
d. tulisan
e. seni sastra

Tema-tema sejarah mentalitas:
a. aborsi,
b. pelacuran
c. kekejaman/kekerasan
d. bunuh diri
e. petualangan dll
Berdasarkan tingkat kekunoan
a. Sejarah sebelum mengenal tulisan /Prasejarah
b. Sejarah Klasik/Kuno
c. Sejarah Modern
d. Sejarah Kontemporer

Berdasarkan Tema
a. Sejarah Kebudayaan
b. Sejarah Perekonomian
c. Sejarah Hukum
d. Sejarah Militer
e. Sejarah Agama
f. Sejarah Mentalitas, dll

Berdasarkan wilayah kajian
a. Sejarah Eropa
b. Sejarah Afrika
c. Sejarah Asia
d. Sejarah Amerika
e. Sejarah Australia
f. Sejarah Pasifik

JEJAK-JEJAK MASALAMPAU
a. Bangunan peninggalan sejarah: candi,kraton,bangunan,tugu
b. Monumen: Monumen Tugu Pahlawan,Tugu Muda,Monas
c. Kesaksian: dari para pelaku maupun saksi sejarah

Dasar dalam pemilihan topik untuk menuliskan masa lampau
a. kedekatan emosional
b. kedekatan intelektual