Selasa, 26 Januari 2010

Perubahan Peta Politik Dunia Pasca PD II

MATERI POKOK :
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan dunia internasional setelah perang dunia II dan perang dingin

MATERI

Bermunculan dan berkembangnya perang dingin.
1. Penyebab terjadinya Perang Dingin (Cold War) :
Perbedaan ideologi Liberalisme yang dianut oleh AS, Inggris, Perancis dan
Komunisme (oleh Uni Soviet)

2. Perkembangan Perang Dingin, menyebabkan :
a. Munculnya Pakta2 Pertahanan Militer
NATO, pakta Warsawa, ANZUS, OAS, SEATO, CENTO

b. konflik Ideologi di berbagai negara
Perang Korea ( Korut Vs Korsel )
Revolusi Cuba
Perang Vietnam
Perang di Nicaragua
Perang di Congo
konflik PKI di Indonesia

3. Perkembangan Teknologi Persenjataan dan Ruang Angkasa
a. Ditemukannya senjata Nuklir
b. Penjelajahan Ruang Angkasa
c. Perang Bintang (Star War)

4. Perkembangan Teknologi Abad ke-20

Senin, 18 Januari 2010

ASAL USUL NAMA SUMATERA

NAMA ASLI pulau Sumatera, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau Emas”. Istilah pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa.

Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa!

Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Lalu dari manakah gerangan nama “Sumatera” yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama “Hindia Timur” (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang “Indian”! (Lihat artikel penulis, “Asal-Usul Nama Indonesia”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 16 Agustus 2004, yang telah dijadikan salah satu referensi dalam Wikipedia artikel “Indonesia”).

Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.***


Sumber utama:
Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941.
William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975.
http://www.wacananusantara.org/99/339/asal-usul-nama-sumatra

Astadusta

Astadusta

Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh.

Seluruh tindak kejahatan yang termasuk dalam kelompok astadusta ini diatur dalam kitab Kutara Manawa pasal 3 dan 4 (versi Slamet Muljana). Pasal 3 kitab perundang-undangan Kutara Manawa menyebutkan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa, dan melukai orang yang tidak berdosa, jika terbukti, tebusannya adalah hukuman mati. Ketiga dusta itu disebut dengan “dusta bertaruh jiwa”. Namun, apabila yang bersangkutan ingin mengajukan permohonan hidup kepada raja yang sedang berkuasa, ia dapat menggantinya dengan membayar denda sebanyak empat laksa untuk setiap satu tindakan. Pembayaran denda tersebut adalah sebagai syarat bagi penghapusan dosa yang telah dilakukannya.

Sedangkan, pasal 4 dalam kitab tersebut menyebutkan bahwa orang yang makan bersama pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh, jika terbukti, maka hukumannya adalah denda berupa uang sejumlah dua laksa untuk setiap satu tindakan.

Selain pasal 3 dan 4, dalam Kitab Kutara Manawa juga memuat sebuah pasal lagi yang mengatur tentang tindakan yang digolongkan sebagai suatu kejahatan, yaitu pasal 23. Bunyi pasal 23 tersebut adalah sebagai berikut:

“Kejahatan seperti mencuri, menyamun, membegal, menculik, mengawini wanita larangan (perempuan yang masih dalam status kawin), membunuh orang yang tidak bersalah, meracuni, menenung, itu semua disebut sebagai perusuh. Jika perbuatannya itu terbukti, maka hukumannya adalah mati. Demikianlah ujar para sarjana yang telah putus dalam kitab hukum Kutara Manawa. Mereka paham membedakan yang jahat dan yang baik; tahu mana jalan yang menuju duka-nestapa dan menuju surga. Barang siapa memihak perusuh, merintangi dan menghalangi tindakan raja hanya dengan ucapan, supaya didenda dua laksa oleh raja yang berkuasa. Perbuatan menghalangi tindakan raja dengan ucapan itu disebut “meletakkan bahagia pada bangkai”.

Uraian di atas disadur dari beebrapa artikel yang membaerikan informasi mengenai kitab perundang-undangan Kutara Manawa uraian singkat di atas setidakanya memeberikan sebuah pandangan akan keteraturan serta hubungan antara sebuah masyarakat dengan negaranya dan juga sebaliknya demi terciptanya sebuah tatanan yang melambangkan ketercapaian dalam keteraturan hidup.

Referensi
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

KEDIRI

Pada tahun 1041 atau 963. Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra.

Sumber-sumber Prasasti
Prasasti-prasasti menjelaskan kerajaan Kediri antara lain yaitu:
a. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas
Jenggala.
b. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa
Jayabaya.

Selain dari prasasti-prasasti tersebut di atas, sebenarnya ada lagi prasasti-prasasti yang lain tetapi tidak begitu jelas. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri dalam berbagai aspek kehidupan dapat diketahui.

Dalam perkembangan politiknya wilayah kekuasaan Kediri masih sama seperti kekuasaan raja Airlangga, dan raja-rajanya banyak yang dikenal dalam sejarah karena memiliki lencana atau lambang sendiri.

Raja-raja yang terkenal dari kerajaan Kediri antara lain Raja Kameswara (1115 - 1130 M) mempergunakan lancana Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring pada masa pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra, bahkan kiasan hidupnya dikenal dalam Cerita Panji.

Raja selanjutnya adalah Jayabaya memerintah tahun 1130 - 1160 mempergunakan lancana Narasingha yaitu setengah manusia setengah singa pada masa pemerintahannya Kediri mencapai puncak kebesarannya dan juga banyak dihasilkan karya sastra terutama ramalannya tentang Indonesia antara lain akan datangnya Ratu Adil. Tahun 1181 pemerintahan raja Sri Gandra terdapat sesuatu yang menarik pada masa, yaitu untuk pertama kalinya didapatkan orang-orang terkemuka mempergunakan nama-nama binatang sebagai namanya yaitu seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, Macan Putih, Gajah Kuning, dsb. Selanjutnya tahun 1200 - 1222 yang menjadi raja Kediri adalah Kertajaya. Ia memakai lancana Garudamuka seperti Ria Airlangga, sayangnya raja ini kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum Brahmana. Hal inilah yang akhirnya menjadi penyebab berakhirnya kerajaan Kediri, karena kaum Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok di Singosari sehingga tahun 1222 Ken Arok berhasil menghancurkan Kediri.

Demikianlah uraian materi tentang kehidupan politik raja Kediri. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah memahami? Kalau Anda sudah paham simak kembali uraian materi selanjutnya. Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.

Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Hayam Wuruk

Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.

Silsilah Hayam Wuruk
Hayam Wuruk adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Krtawardhana (Cakradhana). Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singasari bergelar Bhre Tumapel.

Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.

Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.

Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).

Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.

"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca (1365).

Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.

Referensi
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan(terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990

sumber :http://www.wacananusantara.org/content/view/category/5/id/34

Gajah Mada

Gajah Mada adalah salah satu tokoh besar pada zaman Majapahit. Menurut berbagai kitab zaman Jawa Kuno, ia menjabat sebagai patih (menteri besar), kemudian mahapatih (perdana menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Ia terkenal dengan sumpahnya, yaitu Amukti Palapa, yang menyatakan bahwa ia tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Di Indonesia pada masa kini, ia dianggap sebagai salah satu pahlawan penting dan merupakan simbol nasionalisme.

Awal Karir
Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Menurut Pararaton, ia memulai karirnya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus bhayangkara(bekel bhayangkara). Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Rakryan Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada tahun 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Ada beberapa pendapat bahwa Gajah Mada dianggap dari daerah Modo di Lamongan, di mana di daerah Cancing Ngimbang banyak ditemukan prasasti-prasasti yang diduga kuat peninggalan Majapahit, lagipula daerah ini adalah yang terdekat dengan perbatasan Lamongan-Mojokerto, tepatnya di daerah Mantup, 20 kilometer ke selatan Lamongan. Jadi ada kemungkinan bila Gajah Mada berasal dari Lamongan, mengingat bukti bukti prasasti yang ada di daerah ini bahkan tempatnya juga sangat teratur sebagai tanah perdikan, termasuk adanya beberapa makam kuno prajurit, dan juga makam kuno yang diduga kuat sebagai makam ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andong Sari, yang masih menjadi tanda tanya.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan wilayah Keta dan Sadeng yang saat itu penduduknya sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya ditaklukkan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi sebagai Patih Amangkhubumi Majapahit.

Sumpah Amukti Palapa
Pada waktu pengangkatannya, ia mengucapkan Sumpah Palapa, yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Berikut Pararaton mencatat sumpahnya.

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

Artinya:
Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada, “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.

Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (di Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Suwarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwana Tunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.

Namun Nagarakretagama tak menceritakan Perang Bubat meski cukup membeberkan mengenai lapangan Bubat. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh Madakaripura yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Pengunduran Diri Gajah Mada
Dalam Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan sebenarnya Majapahit tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) yang dipimpin oleh Empu Nala.

Hayam Wuruk, menurut Pararaton, akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri, bernama Paduka Sori, anak dari Bhre Wengker, Wijayarajasa. Nama Paduka Sori ini sama dengam tokoh Indudewi dalam Nagarakretagama, yang disebut sebagai adik (dalam hal ini berarti istri) Baginda. Ada pun Raja Wijayarajasa dari Wengker menikah dengan Dyah Wiyah Rajadewi (Bhre Daha), bibi Hayam Wuruk. Tulisan Prapanca tentang perkawinan Dyah Wiyah dengan Bhatara Sri Wijayarajasa diperkuat oleh Piagam O.J.O. LXXXIV.

Pararaton mengemukakan bahwa sehabis Pasunda Bubat, Gajah Mada mengundurkan diri (mukti palapa) sebagai patih amangkubhumi, karena sang Prabu tak menyetujui pandangan politiknya terhadap Sunda. Pemberhentian Gajah Mada ternyata sementara. Pada tahun 1359 ia aktif kembali dalam jabatan semula. Nagarakretagama pupuh 19/2 membeberkan bahwa Empu Mada mendapatkan hadiah tanah, dan di tanah itu dibangun rumah pesanggrahan Madakaripura. Akan tetapi, Gajah Mada tak melanjutkan program politik amukti palapa-nya. Gajah Mada wafat pada tahun 1286 Saka (1364 M).

Setelah Gajah Mada mangkat, Hayam Wuruk memanggil Dewan Pertimbangan Agung Majapahit, yang terdiri dari: ibunda Tribhuwana Tunggadewi, ayahanda Sri Kertawardhana, bibinda Dyah Wiyah Rajadewi, pamanda Sri Wijayarajasa, adinda Bhre Lasem serta suaminya Sri Rajasawardhana, adinda Bhre Pajang dan suaminya Sri Singawardhana. Dewan ini bermaksud mencari pengganti Gajah Mada. Akan tetapi, karena tak ada yang dipandang layak untuk menggantikannya, maka diputuskan bahwa Gajah Mada tak akan diganti.

Atas keputusan dewan tersebut, Dyah Hayam Wuruk pun menjabat sebagai raja sekaligus patih amangkubhumi. Susunan kabinet kementerian mengalami perubahan: Empu Tandi diangkat sebagai wreddha menteri (menteri sepuh); Empu Nala, pahlawan Padompo, diangkat sebagai menteri amancanagara dengan pangkat tumenggung; Pati Dami diangkat sebagai yuwamenteri (menteri muda). Jabatan patih amangkubhūmi baru terisi setelah tiga tahun Gajah Mada wafat, yakni tahun 1367. Gajah Enggon ditunjuk Dyah Hayam Wuruk untuk mengisi jabatan itu.

Akhir Hidup
Disebutkan dalam Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Kepustakaan:

Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. ‘s Grav., BKI. Memory of Majapahit: Gajah Mada

sumber : http://www.wacananusantara.org/content/view/category/5/id/39?mycustomsessionname=6f2ab93a3846cb67ffdfc5cebedded97

Sabtu, 02 Januari 2010

profesi Guru, sekaligus Pemulung

Hidup, takselamanya bisa memilih. Itulah yang dirasakan Pak Mahmud, seorang guru,bahkan kini menjadi kepala sekolah salah satu sekolah agama di Cengkareng, Jakarta Barat. Ia seperti hidup di antara dua dunia yangsangat berbeda,menjadi guru di satu saat, dan karena alasan ekonomi menjadi pemulung sampah di saat lain.

Inilah potret nyata kehidupan guru di tanah air. Matahari perlahan mulai menampakan sinarnya, dan pagi kembali datang.Akupun kembali membuka lembaran hidup dari gubukku yang sederhana ini.Namaku Mahmud. seperti hari-hari sebelumnya, di pagi buta, aku sudah melangkahkan kaki pergi mengajar di sekolah Madrasah Sanawiyah Safinatul Husnah, tak jauh dari tempatku tinggalku di Jalan Bambu Larangan RT 03 RW 05 Cengkareng Barat, Jakarta Barat, jadi aku cukup berjalan kaki untuk ke sana. Sudah 32 tahun aku menekuni profesi ini,persisnya sejak aku berusia 14 tahun. Ya, sejak muda, aku memang bercita-cita menjadi guru, profesi yang pekerjaannya sangat mulia menurutku. Apalagi kini aku dipercaya menjadi kepala sekolah. Aku senang, pengabdianku telah berbuah manis.
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi kepala sekolah. Tanggung jawabnya sangat besar, tak hanya harus mampu menjadi teladan tapi juga harus menyiapkan bekal mutu dan moral bagi murid-murid kami, generasi penerus bangsa ini. Karena itu hampir setiap upacara sekolah, saat menjadi inspektur upacara, aku coba tanamkan nilai-nilai luhur itu. Meski menjadi kepala sekolah, aku tetap mengajar, matematika dan ppkn,pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. jujur, Ada dua alasan mengapa aku tetap melakukannya. Pertama karena aku memang senang mengajar. Aku juga tak ingin ilmu matematika yang kudapat dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta menjadi tak terpakai. Dan kedua, karena alasan ekonomi. Aku masih membutuhkannya sebagai sumber tambahan.

Menjadi guru, sekali lagi, memang sangat berat, setidaknya sampai saat ini. Penghasilan yang didapatkan, sangat tak sebanding dengan karya kami untuk bangsa ini. Tapi aku, dan juga mereka yang telah memilih pekerjaan ini tak boleh mundur. Ada tanggung jawab besar di pundak kami. Berkumpul dengan keluarga adalah saat terindah dalam hidupku. Bersama mereka aku bisa melupakan semua persoalan yang membebaniku, terutama setiap kali melihat senyum di wajah Jumiati, isteriku. Maklum, sudah dua tahun terakhir ini dia sakit-sakitan, dan aku terus memikirkannya. Sebagai kepala rumah tangga, beban di pundakku sebenarnya sangat berat. Ibarat bangunan, aku tak ubahnya seperti tiang yang harus berdiri kokoh, jika tak ingin seluruh bangunan roboh. Bukan maksudku berkeluh kesah, tapi penghasilanku sebagai guru, meski kini telah menjadi kepala sekolah, sangatlah kecil. Aku buka saja, penghasilanku dari sekolah sekitar 500 ribu rupiah. Bisa apa dengan uang itu dengan harga kebutuhan yang terus naik sekarang ini. Belum lagi aku harus membiayai sekolah anak-anakku.

Itulah sebabnya, di luar profesi guru, diam-diam aku menjadi pemulung, mengais rezeki di antara tumpukan sampah di belakang rumahku. Saat menjadi pemulung, yang terbayang hanya wajah anak isteriku. Mereka membutuhkan kehidupan dariku. Rasa lelah, lapar, coba aku singkirkan. Tak ada gunanya pula aku mengeluh, karena inilah jalan hidupku. Hasilnya juga lumayan buat memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Aku sadar, keputusanku ini tidak semua menyukainya, terutama dari mereka yang merasa pekerjaan ini tak pantas dilakukan seorang guru sepertiku. Bahkan tak jarang aku menerima cibiran. Mereka seperti tak mau mengerti, isteriku sudah dua tahun menderita sakit kanker otak, danaku belum juga mampu membiayai operasi untuknya. Jumiati, isteri, adalah segalanya bagiku.

Tak mampu kugambarkan bagaimana besar artinya dia buatku. 22 tahun ia dengan setia mendampingiku, tak ada bandingan, walau kini ia sedang tak berdaya karena sakit yang ia derita. Sejak isteri divonis menderita kanker otak dua tahun lalu, fikiranku memang tak tenang. Permintaan beberapa murid untuk diajar les tambahan,terpaksa tak bisa dipenuhi, aku tak bisa konsentrasi, Jumiati begitu berarti buat kami. Selagi sempat aku selalu ingin berada dekatnya, menikmati kebersamaan dengannya. Aku tak sanggup membayangkan kehilangan dia. Begitupun dengan ketiga anakku, mereka bak matahariku, sumber kekuatanku, karena mereka pula aku ikhlas menjalani kerasnya hidup ini. Si sulung, Hidayatul Aulia, telah lulus SMA, aku terharu ketika ia memutuskan tak kuliah, memberi jalan buat kedua adiknya meneruskan sekolahnya. Yang kedua Ridwan Abimanyu, saat ini sedang kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jurusan perbandingan agama, aku sangat bangga melihat semangat belajarnya. Lalu si bungsu Mirma Yunita, barumasuk pesantren dekat rumahku. Aku ingin kehidupan mereka kelak, lebih baik dari kami orang tuanya. Lingkungan tempat tinggal kami, sebenarnya tidak mendukung. Kotor dan tak baik buat kesehatan, paling tidak itulah yang kami sekeluarga rasakan. Tak hanya isteriku yang sakit, ketiga anakkupun sebenarnya mengalami gangguan kesehatan. Tapi kami memang tak punya pilihan.
Hidup ini memang sebuah perjalanan, penuh liku dan terjal. Andai saja aku punya pilihan, ingin rasanya aku pindah ke lingkungan yang lebih baik. Kadang aku seperti berkhayal, membayangkan kehidupan yang lebih baik. Tinggal di lingkungan yang bersih, memiliki rumah yang memadai. Dan, ah..sudahlah, aku sudah melupakan impianku diangkat menjadi pegawai negeri, walau kadang obsesi itu masih saja kerap melintas dibenakku. Kini semua kupasrahkan kepada Tuhan. Bagiku, Tuhan telah berbuat yang terbaik untukku. Walau begitu, aku kerap mengadukan semua keluh kesahku kepadanya, aku menemukan kedamaian saat merasa dekat dengannya.

Sumber :http://pakzam.blogguru.net/