Sabtu, 30 Mei 2009

Faham Tantri-isme di Jawa dan Sumatera (1)

(Materi ini dapat dilhat juga di facebook Mgmp Sej Jakut)

Tantrisme tumbuh dengan subur di Jawa dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Kita tidak mempunyai informasi yang tepat mengenai bilakah dimasukkan ke pulau Jawa. Akan tetapi kita Mengetahui di Kambuja, naskah-naskah Tantri disebut-sebut dalam abad kesembilan M.

Terdapat referensi-referensi lain di prasasti-prasasti Kambuja mengenai bagaimana beberapa orang raja diinisiasikan ke dalam Vrah Guhya (Rahasia Besar) oleh guru-guru Brahmana mereka. Buddhisme Kambuja barangkali lebih bebas dari pengaruh Tantra daripada Buddhisme Jawa pada abad ketigabelas dan keempatbelas.

Akan tetapi terdapat referensi di prasasti abad kesebelas ke "Tantra-Tantra Paramis." Juga arca-arca Hewajra, kedewaan Buddhist Tantri, telah diketemukan di Angkor Thom, ibukota lama dari Kambuja.

Di JAWA, Tantrisme rupa-rupanya telah sampai kepada kepentingannya yang lebih besar. Krtanagara (1268-1292 M.), raja terakhir kerajaan Singasari (Jawa Timur) sudah sebegitu dipuja dalam masa hidup beliau sebagai seorang penganut Buddha-Siwa, yang ahli dalam latihan-latihan Tantris.
Prapanca, pengarang sejarah dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang penting, Nagarakrtagama, mengatakan bahwa Krtanagara telah mengalami sepuluh upacara purifikasi dan delapan proses inisiasi dan bahwa beliau tekun melaksanakan panca makara: 'bebas dari semua khayalan hawa nafsu.'

Selanjutnya Prapanca mengatakan: "Setelah inisiasi jina Krtanagara, nama beliau di mana-mana dikenal sebagai Sri Jnana-bajeswara. "

Kita juga mengetahui dari prasasti yang diukir pada alas arca raja ini berpakaian sebagai biarawan bahwa setelah'inisiasi jina' di tempat upacara, Krtanagara seharusnya diidentifikasikan dengan Mahakshobya. Monumen pengabuan beliau dihiasi dengan dua arca, kedua-duanya digambarkan sebagai sangat indah, satu arca Siwa dan yang lain Akshobbya.

Sekarang kita sampai kepada prasasti Tantri dari Adiyawarman, seorang pangeran dari Sumatera (kira-kira 1343-1378 M.). Sebuah prasasti dari pangeran ini bertanggal 1269 tahun saka (1347 M.), menggambarkan pentahbisan suatu kelompok patung dari Amoghapsaa-Gaganaga nja dengan teman-temannya dan dalam hubungan ini berbicara tentang latihan-latihan menjalani hidup suci yang dijalankan oleh masyarakat Buddhist, dan kemudian melanjutkan dengan memuji-muji latihan-latihan Yoga dari Mahayana.

Pada waktu yang sama, mereka memuja seorang dewa dan dewi Matanganisa dan Tara. Prof. Dr. R.A. Kern menyatakan bahwa Matanganisa dan Tara pasti adalah Amoghapasa dan Sakti nya, dan agaknya mereka itu aspek-aspek Siwa dan Durga yang disesuaikan dengan Buddhisme.

Dalam prasasti ini, Matanganisa digambarkan sebagai mabuk dan bersifat cinta-kasih - melakukan tarian mistis dengan Tara di suatu tempat yang bergema dengan nyanyian-nyanian burung-burung, yang diberi wangi-wangian harum melati. penuh dengan dengun lebah-lebah dan tangisan-tangisan masa berkelamin gajah-gajah, dan sorakan-sorakan sukaria Gandharwa (gendruwo) yang sportif.

Barangkali Adityawarman sendiri dapat diidentifikasikan dengan Matanganisa dan permaisuri Aditiyawarman dengan Tara, dan prasasti memperingati beberapa upacara yang diselenggarakan oleh pasangan kerajaan itu.

Adityawarman diduga sebagai inkarnasi dari Kama-raja-adhimukti sadasmrtijna, yakni semua usaha selalu diarahkan kepada mukti.

Upacara Ceng Beng, hari Penghormatan Terhadap Leluhur

Setiap tanggal 4 atau 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cheng Beng (Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan dengan
berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin: Yinzhi=kertas perak).

Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan berdasarkan posisi bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL (bukan akhir!) Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila kita artikan kata Cheng beng, maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya terang sehingga bila digabungkan maka Chengbeng berarti terang dan cerah.

Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena cuaca yang bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman.
Bahkan bila ada orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya, mereka akan berusaha untuk pulang ke kampung halamannya, khusus untuk melakukan upacara penghormatan para luluhur.

SEJARAH CENG BENG

Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya. Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas. Ada sebuah syair yang menggambarkan bagaimana cheng beng itu yaitu: "Sehari sebelum cheng beng tidak ada api" atau yang sering
disebut Hanshijie (han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival) .

Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas terbakar di gunung Mianshan. Jin Wengong (raja
muda negara Jin pada periode Chunqiu akhir dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api
pada hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam kondisi dingin, sehingga disebut perayaan makanan dingin.

Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi. Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret, sedangkan awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei.
Sejak jaman dahulu hari cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur. Pada dinasti Tang, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan mengimplementasikan nya berupa membersihkan kuburan para leluhur, sembahyang dan lain-lain.

Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit
telur.

Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan
menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini
disebut burung walet Zitui.

Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming. Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar Sendiri dinasti Ming, untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya.

Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan? Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan akar-akarnya akan merusak tanah kuburan
tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga. Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya

(materi ini ada juga di blog MGMP Sej jakut)

Dinasti Syailendra di Sumatera

Lempeng tembaga Dewapala di Nalanda menegaskan mengenai pusat pendidikan tinggi yang merupakan asal dari gelombang Mahayana yang menjebar di seluruh Nusantara dan Indocina pada abad ke-delapan dan abad kesembilan. Prasasti pertengahan abad ke-sembilan Raja Dewapala dari dinasti Pala dari Bengala dan Magadha ini mencatat bantuan beberapa desa untuk pemeliharaan sebuah biara di Nalanda yang dibangun atas perintah Balaputradewa dari dinasti Suwarnadwipa (Sumatera) karena kebaktian keagamaannya kepada Buddhisme.

Ditunjuknya Suwarnadwipa (Sumatera) sebagai kerajaan Balaputra Sailendra, dan sama sekali tak dicantumkannya Jawa dalam hubungan kata-kata ini, adalah penting artinya. Karena umumnya berarti Balaputra merupakan raja Sailendra terakhir di Jawa Tengah dan waktu beliau kehilangan tahta di Jawa, beliau menduduki singgasana Sriwijaya. Balaputra dengan demikian mendirikan dinasti Sailendra untuk pertama kali di puncak negara maritim Sriwijaya yang kuat. Suatu posisi yang dipegang selama sedikitnya 150 tahun. Anggapan bahwa Balaputra adalah raja Sailendra yang pertama dari Sriwijaya harus dipertimbangkan.

Suatu keterangan baru mengemuka mengenai runtuhnya kerajaan Sailendra di Jawa. Sebuah prasasti tahun 832 M., menyebut Patapan dari garis keturunan Sanjaya (garis keturunan pangeran-pangeran yang menjadi raja-raja bawahan dinasti Sailendra) telah mendirikan kembali suatu dinasti Saiwa di bagian utara Jawa Tengah. Akan tetapi dinasti Sailendra tetap memerintah di bagian selatan. Dari prasasti lain (tahun 856 M.), kita temukan Balaputra, setelah kekalahan beliau dalam puncak perang karena dikepung di sebuah benteng oleh seorang pangeran yang bernama Kumbhayoni (Agastya).

Balaputra diduga lari ke Sumatra waktu kubu itu jatuh kepada para pengepung. Barangkali untuk memperingati kemenangan ini Kumbhayoni mendirikan kuil Saiwa di selatan Prambanan. Akan tetapi bagaimana kita dapat memahami keberuntungan Balaputra memperoleh mahkota Sriwijaya setelah kehilangan mahkota Jawa? Seorang puteri dari dinasti Sailendra yang terakhir dari Jawa Tengah, bernama Pramodawardhani, menikah dengan seorang pangeran dari dinasti aseli Hindu dari Jawa Tengah dan barangkali sebagai hasil pernikahan ini, dinasti aseli Hindu ini duduk di atas singgasana kembali, akan tetapi rupa-rupanya setelah perjuangan yang dahsyat antara suaminya, Rakai (Pangeran) Pikatan melawan Balaputra, adik laki-laki Pramodawardhani (dari ibu tiri yang berasal dari luar negeri).

Pangeran ini (Balaputra) diusir dari Jawa akan tetapi menjadi raja Suwarnadwipa (Sumatera). Suatu persektuan lain dengan pernikahan (seorang puteri mahkota Sriwijaya menikah dengan pangeran Balaputra meratakan jalan untuk Balaputa dari dinasti Sailendra naik tahta Sriwijaya. Di pihak ibu, Balaputra sudah berhubungan keluarga dengan raja-raja Sriwijaya.

Prof Cedes menberikan kesan lainnya tentang suatu pernikahan yang sangat penting dalam edisi terkakhir buku LES ETATS HINDOUISES (1964)beliau menganggap kemungkinan adanya 'hubungan ayah-putera' antar raja Sriwijaya (sang ayah) yang disebut pada prasasti Ligor dan raja Sailandra (puteranya). Putera raja Sriwijaya, dugaan Prof. Cedesm menjadi raja Sailendra setelah menikah dengan seorang puteri dari Jawa Tengah dan dengan demikian mendirikan dinasti Sailendra yang meningkatkan wilayah itu sampai sedemikian besar tingkat kemakmurannya sampai kira-kira 80 tahun.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, Cedes memberikan pandangan tentang pernikahan lain sebagai suatu peristiwa politik yang penting, yaitu waktu Fu-nan (versi Tiongkok dari kata Khmer untuk Ba-phom yang artinya bukit suci, yaitu raja-raja Sri Saila) merupakan dinasti Sailendra; dan waktu dienyahkan dari Kambuja oleh raja-raja bawahan mereka, melarikan diri ke Jawa sebagai pengungsi-pengungsi . Puteri Sailendra yang menikah dengan pangeran Sriwijaya, termasuk keluarga kerajaan Fu-nan yang mendirikan kerajaan Sailendra (Fu-nan = Sri Saila)di Jawa setelah menetap di sini sebagai pengungsi-pengungsi dari kampung halaman mereka di Kambuja.

Catatan ini materi kembaran di catatan facebook MGMP Sej Jakut

Sejarah Lisan Pelabuhan Tanjung Priok

Indonesia negara kepulauan, itu pasti
Jika negara kepulauan, artinya di negara ini mesti ada Pelabuhan laut dan industri kapal sebagai pendukung negara ini menguasai kelautan.
Tulisan kali ini hanya membicarakan tinjauan sejarah lisan Pelabuhan tanjung priok, sebagai pelabuhan samudra dan pintu gerbang perdagangan menuju negara Indonesia.
Sudah lama sebetulnya data-data sejarah lisannya terkumpul, akan tetapi justru dikala fisik sedang tdk "fit" nafsu untuk menulis malah muncul.

Keberadaan pelabuhan tanjung Priok tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Belanda ( baca VOC) di Nusantara pada abad ke 17. Saat VOC memilih J.P. Coen sebagai gubernur jenderal di New Batavia, kendala awal untuk merealisasikan semua maksud kedatangan Belanda di tanah baru ini adalah (1) keberadaan kantor, (2) Pelabuhan laut sebagai penunjang aktivitas perdagangan VOC.

Tanpa memerlukan waktu lama, kantor Gubernur Jenderal VOC dapat didirikan di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa, yang telah jadi miliknya.

Dengan berbagai pertimbangan dan demi keuntungan dimasa depan, maka segera direalisasikan Pelabuhan Tanjung Priok. Pemilihan tempat itu bukan tanpa halangan dan resikonya, sebab jika melihat analisa lingkungannya, tanjung Priok, bukanlah lokasi yang ideal untuk sebuah pelabuhan.

pelabuhan paling ideal saat itu (mungkin juga hingga sekarang) adalah pelabuhan Banten, yang realitasnya telah dikelola oleh kesultanan banten. Akan tetapi mengingat posisi ibukota (kantor pusat VOC yang telah dan terlanjur didirikan di batavia, maka pembangunan Priok jalan terus.

LUMPUHKAN PELABUHAN BANTEN
Kedatangan Belanda ke Indonesia selain dibekali oleh spirit yang tinggi, untuk menjadi bangsa yang disegani di daratan Eropa, juga, disertai oleh modal akal. Jadi, keberadaan dan upaya untuk mengembangkan Pelabuhan Tanjung Priok tidak semata mengandalkan fisik, akan tetapi juga perjuangan otak dan muslihat.

mengetahui bahwa Pelabuhan kesultanan banten memiliki kelebihan sebagai pelabuhan internasional (misalnya lautnya dalam), maka Belanda berusaha sekuat tenaga untuk mematikan dan menundukan keberadaan.

langkah awal adalah dengan membangun dermaga yang kapabel
langkah kedua adalah dengan menarik atau lebih tepatnya mendatang kapal kapal, supaya mau berlabuh di Tanjung Priok. Dengan kehadiran kapal-kapal yang berlabuh, artinya ada pemasukan untuk pengelola Pelabuhan. Untuk upaya yang kedua ini, Belanda berani mengerahkan kapal tentara dengan senjata lengkap, untuk dikirim ke laut lepas banten, selat sunda dan sekitarnya.

Tujuannya adalah mengarahkan dan bila perlu memaksa semua kapal untuk berlabuh di Tanjung Priok. usaha ini boleh dikatakan berhasil. pelan tapi pasti kapal-kapal dagang lebih memilih berlabuh di Tanjung Priok daripada Pelabuhan banten.

lambat tapi pasti, akhirnya pelabuhan banten mati dengan sendirinya. tanpa kapal-kapal dagang berlabuh, bagaimana mungkin pelabuhan meneruskan aktivitas.