(Materi ini dapat dilhat juga di facebook Mgmp Sej Jakut)
Tantrisme tumbuh dengan subur di Jawa dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Kita tidak mempunyai informasi yang tepat mengenai bilakah dimasukkan ke pulau Jawa. Akan tetapi kita Mengetahui di Kambuja, naskah-naskah Tantri disebut-sebut dalam abad kesembilan M.
Terdapat referensi-referensi lain di prasasti-prasasti Kambuja mengenai bagaimana beberapa orang raja diinisiasikan ke dalam Vrah Guhya (Rahasia Besar) oleh guru-guru Brahmana mereka. Buddhisme Kambuja barangkali lebih bebas dari pengaruh Tantra daripada Buddhisme Jawa pada abad ketigabelas dan keempatbelas.
Akan tetapi terdapat referensi di prasasti abad kesebelas ke "Tantra-Tantra Paramis." Juga arca-arca Hewajra, kedewaan Buddhist Tantri, telah diketemukan di Angkor Thom, ibukota lama dari Kambuja.
Di JAWA, Tantrisme rupa-rupanya telah sampai kepada kepentingannya yang lebih besar. Krtanagara (1268-1292 M.), raja terakhir kerajaan Singasari (Jawa Timur) sudah sebegitu dipuja dalam masa hidup beliau sebagai seorang penganut Buddha-Siwa, yang ahli dalam latihan-latihan Tantris.
Prapanca, pengarang sejarah dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang penting, Nagarakrtagama, mengatakan bahwa Krtanagara telah mengalami sepuluh upacara purifikasi dan delapan proses inisiasi dan bahwa beliau tekun melaksanakan panca makara: 'bebas dari semua khayalan hawa nafsu.'
Selanjutnya Prapanca mengatakan: "Setelah inisiasi jina Krtanagara, nama beliau di mana-mana dikenal sebagai Sri Jnana-bajeswara. "
Kita juga mengetahui dari prasasti yang diukir pada alas arca raja ini berpakaian sebagai biarawan bahwa setelah'inisiasi jina' di tempat upacara, Krtanagara seharusnya diidentifikasikan dengan Mahakshobya. Monumen pengabuan beliau dihiasi dengan dua arca, kedua-duanya digambarkan sebagai sangat indah, satu arca Siwa dan yang lain Akshobbya.
Sekarang kita sampai kepada prasasti Tantri dari Adiyawarman, seorang pangeran dari Sumatera (kira-kira 1343-1378 M.). Sebuah prasasti dari pangeran ini bertanggal 1269 tahun saka (1347 M.), menggambarkan pentahbisan suatu kelompok patung dari Amoghapsaa-Gaganaga nja dengan teman-temannya dan dalam hubungan ini berbicara tentang latihan-latihan menjalani hidup suci yang dijalankan oleh masyarakat Buddhist, dan kemudian melanjutkan dengan memuji-muji latihan-latihan Yoga dari Mahayana.
Pada waktu yang sama, mereka memuja seorang dewa dan dewi Matanganisa dan Tara. Prof. Dr. R.A. Kern menyatakan bahwa Matanganisa dan Tara pasti adalah Amoghapasa dan Sakti nya, dan agaknya mereka itu aspek-aspek Siwa dan Durga yang disesuaikan dengan Buddhisme.
Dalam prasasti ini, Matanganisa digambarkan sebagai mabuk dan bersifat cinta-kasih - melakukan tarian mistis dengan Tara di suatu tempat yang bergema dengan nyanyian-nyanian burung-burung, yang diberi wangi-wangian harum melati. penuh dengan dengun lebah-lebah dan tangisan-tangisan masa berkelamin gajah-gajah, dan sorakan-sorakan sukaria Gandharwa (gendruwo) yang sportif.
Barangkali Adityawarman sendiri dapat diidentifikasikan dengan Matanganisa dan permaisuri Aditiyawarman dengan Tara, dan prasasti memperingati beberapa upacara yang diselenggarakan oleh pasangan kerajaan itu.
Adityawarman diduga sebagai inkarnasi dari Kama-raja-adhimukti sadasmrtijna, yakni semua usaha selalu diarahkan kepada mukti.
Kegiatan Berbagi Praktik Baik dan Rencana Tindak Lanjut
4 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar