Senin, 18 Agustus 2008

Renungan Kemerdekaan

Sunday, 17 August 2008

from Kem Pemuda & OR RI

MENURUT Bung Karno, kemerdekaan adalah jembatan emas.Di seberangnya jalan terpecah dua.Yang satu menuju kesejahteraan bersama prinsip sama rasa sama rata.

Yang satu lagi menuju bencana nasional yang disebut dengan istilah sama ratap sama tangis. Ke arah mana kita menuju, tergantung pada tekad dan niat kita semua sebagai warga bangsa yang merdeka,di bawah pimpinan negarawan yang peduli pada rakyat. Mangkunegara I pernah mengungkapkan prinsip kepemimpinannya dengan kaidah ”Tiji Tibeh”. Maksudnya mukti siji mukti kabeh dan mati siji mati kabeh, yang berarti bila satu sejahtera semuanya sejahtera; dan bila satu mati, semuanya mati.
Menyimak karut-marut kondisi bangsa dan negara kita beberapa tahun terakhir tampaknya sebagian elite pemimpin bangsa memang seolah-olah masih berpegang pada kaidah ”Tiji Tibeh”, namun dengan penafsiran yang melenceng, yaitu mukti siji mati kabeh, atau satu sejahtera, lainnya mati semua. Pelencengan tafsir semacam itu lazim terjadi di Tanah Air, di mana kezaliman seolah-olah sudah menjadi kelaziman. Tatkala dipercaya menjadi salah seorang panelis debat calon presiden pada 2004 saya menyampaikan warta bahwa gaji direktur Pertamina mencapai Rp150 juta per bulan, sedangkan gaji seorang guru besar saat itu hanya Rp2,5 juta per bulan. Berarti imbalan seorang direktur Pertamina kerja satu bulan, sama dengan hasil kerja profesor selama 5 tahun.

Saat ini pun, di era reformasi, gaji seorang wakil rakyat yang hanya berpendidikan S-1 (sarjana) sudah puluhan kali lipat gaji dosen yang sudah mencapai jenjang akademik tertinggi S-3 (doktor). Saya teringat ledekan seorang pelawak tentang wakil rakyat. Dia bilang bahwa para wakil rakyat yang terhormat itu, saking besarnya perhatian kepada rakyat, sampai lupa kepentingan dirinya sendiri. Ketika diberi uang suap, langsung saja diterima, lupa kalau dia sudah dapat gaji. Ketika disodori wanita panggilan, juga langsung diterima, lupa kalau dia sudah punya istri. Ketika sidang DPR, keasyikan tidur mendengkur, lupa kalau sudah tidur cukup di rumah. Tentu tidak boleh dipukul rata karena pasti ada pula wakil rakyat sejati, yang tidak pelupa seperti itu.

Keserakahan
Yang membuat Tanah Air kita terpuruk terus-menerus seperti sekarang antara lain keserakahan para elite di puncak kekuasaan. Dalam buku yang menggemparkan, The Roaring Nineties (2003), pemenang Nobel dalam bidang ekonomi, Joseph E Stiglitz mengecam mantra pasar bebas dan menolak pendapat ”Greed is good”. Kutipan di awal tulisan ini secara tajam menohok bahwa bila keserakahan dibiarkan tanpa kendali, akan mengarah ke penipuan atau kepalsuan, penyimpangan, dan bencana atau kehancuran. Kasus-kasus pembelian kapal yang digelembungkan dananya, impor ribuan sapi fiktif, alih fungsi lahan yang sarat rekayasa, dan lain-lain itu bukan karena tuntutan kebutuhan ekonomi.
Sangat bukan. Semua itu karena nafsu serakah orang-orang yang notabene sudah sangat mapan. Saya jadi teringat kembali puisi mbeling karya Gojek Joko Santoso yang berjudul ”Ramalan Cuaca”: Singapura gerimis/ Malaysia hujan deras/ Filipina gempa bumi/ Saudi Arabia hawa panas/ Alaska hawa dingin/ Indonesia hawa nafsu. Kendati bernuansa celelekan, mainmain, namun makna puisi tersebut sangat dalam. Sesudah merdeka selama 63 tahun, hawa nafsu sebagian para pemimpin untuk meraih kekuasaan dan meraup kekayaan ternyata tidak surut, bahkan cenderung menyebar bak virus ganas ke daerahdaerah. Sampai saat ini, sesudah reformasi berjalan satu dekade, pertarungan antara the greedy (kaum serakah) melawan the needy (kaum kesrakat) masih saja terasa.

Kita semua melihat merebaknya mall, supermall, department store, shopping centre, plaza yang supermewah di berbagai pelosok kota, menggulung pasar tradisional, warung, dan pedagang kaki lima. Bangunan-bangunan kuno bersejarah dihancurkan untuk disulap menjadi tempat perbelanjaan modern,namun tanpa jati diri. Lapangan lapangan olahraga, taman, kuburan—yang termasuk kategori ruang terbuka hijau—beralih fungsi menjadi hotel, kantor, atau pertokoan. Padahal, menurut kakek saya di desa, kuburan adalah setana alias istana. Di desa, mana ada yang berani mengusik kuburan? Di kota, orang yang sudah meninggal pun tidak merasa aman di tempat peristirahatannya yang terakhir. Para pedagang kaki lima dan pedagang pasar tradisional yang tergusur dan kehilangan mata pencaharian pastilah akan menyimpan dendam kesumat.
Harap para pemimpin menyadari bahwa hungry peoplealias rakyat yang kelaparan, dengan mudah akan menjadi angry people alias rakyat yang marah. Glokalisasi Pengaruh negatif dari globalisasi yang melanda, menipiskan rasa nasionalisme, melunturkan jati diri, meluluhlantakkan kebudayaan dan kearifan lokal. Itu mesti ditangkal dengan gerakan ”glokalisasi”. Kita semua mesti berusaha untuk ikut berkiprah dalam kancah global,namun dengan mengangkat dan mengembangkan keunikan lokal.Semua pihak mesti berupaya menggairahkan kembali semangat kebangsaan yang masih menyala di hati rakyat agar berkobar.
Para tokoh pemimpin di puncak kekuasaan seyogianya meresapi kembali hakikat kemerdekaan yang menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri sebagai bangsa berdaulat, bermartabat, berbudaya, sejajar dengan negara lain. Tidak sekadar dengan slogan,omong kosong, bicara besar,namun dengan tindakan nyata yang didasari visi yang jelas dan terarah. Pemikir dari negara Barat mengatakan bahwa vision without action is a daydream, but action without vision is nightmare.
Belajar dari China visinya jelas,yaitu ”hardware”,memproduksi berbagai macam komoditas rakyat yang dibutuhkan dengan harga lebih murah dan dengan proses lebih cepat. Singapura juga memiliki visi yang begitu jelas, yaitu ”software”, dengan mencanangkan negara kota Singapura sebagai ”intelligent tropical city”. Nah kalau visi China jelas ”hardware” dan visi Singapura jelas ”software”, visi Indonesia diledek dengan predikat ”nowhere”.
Negara kita konon negara agraris, tetapi kenapa petaninya miskin-miskin? Kenapa beras, kedelai, gula, pakan ikan, makanan ternak, dan bahkan garam saja impor? Negara kita konon negara maritim, negara kepulauan, tetapi kenapa para nelayan selalu saja masuk kelompok kaum papa,miskin,sengsara, terpinggirkan? Prof Dr Mubyarto (alm) dari Universitas Gadjah Mada pernah mencanangkan pembangunan ekonomi Indonesia berbasis kerakyatan yang disebutnya dengan istilah ”Ekonomi Pancasila”.
Kiranya jiwa ”Pancasila” semacam itu sudah saatnya dihidupkan kembali dengan penuh kesungguhan dalam segala bidang. Rakyat masih tampak amat bergairah memperingati HUT Ke-63 Kemerdekaan Republik Indonesia. Itu merupakan modal sosial yang baik sekali.Tinggal para pemimpin kita yang diharapkan sebagai negarawan untuk bertekad merintis perubahan nasib bangsa dilandasi kaidah seperti yang dicanangkan oleh Al Gore dalam An Inconvenient Truth (2006): ”Putting Principle Over Politics”. Prinsip mengisi kemerdekaan mesti berada di atas kepentingan politik, sesuai dengan ruh atau semangat Pancasila.Semoga.

(*) *)Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Lemhannas, mantan Ketua Forum Rektor Indonesia
”Greed,if left unchecked,will lead to deceptions,distortions,anddisasters”(Joseph E Stiglitz,2003)

Tidak ada komentar: