Jumat, 25 Juli 2008

REVOLUSI hIJAU II (artikel UGM)

ARTIKEL DOSEN UGM:


A.Revolusi Hijau

Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial.
Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.
Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

B.Pestisida dan Pupuk Buatan

Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.

Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah ‘jika ada hama, pakailah pestisida merek A’. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.

C. Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya

Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras.
Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintahBahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.
Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat: Berbagai organisme penyubur tanah musnahKesuburan tanah merosot / tandus Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisidaKeseimbangan ekosistem rusakTerjadi peledakan serangan dan jumlah hama.Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah).

Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi

ARTIKEL 2 :

Mungkinkah Terjadi Revolusi Hijau Babak II?
Oleh : Irham (UGM)

REVOLUSI hijau (green revolution) telah menjadi "icon" dalam pembangunan pertanian pada awal tahun tujuhpuluhan hingga delapan puluhan. Revolusi hijau dianggap sebagai "juru selamat" bagi sektor pertanian, khususnya di negara berkembang yang kala itu dicirikan oleh: produktivitas rendah, umur panjang, pertumbuhan yang rendah serta kesejahteraan petani yang minim. Oleh karena itu, tanpa revolusi hijau sulit dibayangkan bagaimana produksi pertanian akan mampu memberi makan bagi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat.
Di Indonesia, gerakan revolusi hijau tidak lepas dari peranan Clifford Geerts melalui tulisannya "Involusi Pertanian". Geerts melihat bahwa pertanian di Indonesia saat itu mengalami apa yang disebutnya "involusi", suatu ungkapanuntuk menyatakan bahwa perkembangan pertanian seperti "jalan di tempat". Menyadari akan fenomena tersebut disertai gencarnya gerakan revolusi hijau dunia, maka pemerintah orde baru meresponsnya dengan program intensivikasi pertanian. Maka dilaksanakanlah program Bimbingan Massal (Bimas), intensivikasi Massal (Inmas), Intensivikasi Khusus (Insus ), Supra Insus dan seterusnya. Melalui revolusi hijau ini perubahan wajah pertanian sangat kelihatan, mengubah Indonesia dari pengimpor utama hingga berhasil swasembada beras tahun 1994/1995.

Ciri yang sangat menonjol dari revolusi hijau adalah penggunaan benih (varietas) unggul. Pada tahun 1967/ 1968 diluncurkan benih PB 5 dan PB 8 yang dikenal sebagai bibit ajaib karena hasilnya yang spektakuler. Disusul benih-benih unggul yang dikeluarkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) yang ada di Filipina seperti IR 36, IR 48, IR 54, IR 64, dan lain-lain menggantikan bibit lokal seperti bengawan, rajalele, unus, mentik, cianjur, dsb. Benih unggul ini membutuhkan sistem pengairan yang teratur sehingga pembangunan infrastruktur irigasi dilakukan secara besar-besaran. Introduksi benih baru juga membawa konsekuensi baru dalam penggunaan input kimia secara besar-besaran dan berlebihan seperti pupuk Urea, TSP, KCL dan pestisida.

Sejak tahun 90an, gerakan revolusi hijau seperti mengalami titik balik. Kritik tajam hingga gerakan anti revolusi hijau kemudian bermunculan. Ongkos yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan. Bahkan, meskipun revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian secara menakjubkan, akan tetapi gagal dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan kemandirian pertanian. Inilah ongkos terbesar yang harus dibayar karena pertanian di Indonesia menjadi sangat bergantung pada industri raksasa pertanian dunia mulai dari pengadaan benih, pupuk, pestisida, hingga mesin-mesin pertanian. Apalagi hampir semua proyek-proyek besar pertanian (seperti pembangunan irigasi, pembelian alat-alat pertanian, dll) harus dibayar dengan utang. Sejak saat itulah kemandirian bangsa menjadi sirna karena bangsa ini tidak lagi mampu menghasilkan sendiri sampai pada iput dasar sekalipun.

Yang menarik adalah bahwa sekarang ini terjadi lagi involusi pertanian. Sebut saja involusi pertanian II, yang ternyata lebih parah lagi dibanding yang pertama. Involusi tidak hanya terjadi tingkat usaha tani, akan tetapi juga terjadi di pemerintahan (departemen pertanian), dinas pertanian, penyuluh pertanian, bahkan pendidikan tinggi pertanian sekalipun. Ciri-cirinya nampak sekali: produktivitas yang stagnan, kesejahteraan petani tak kunjung tiba, perkembangan pertanian jalan di tempat serta institusi pertanian yang mandeg. Gejala ini sudah bisa dideteksi sejak pertengahan tahun 1990. Saat itu telah banyak ahli pertanian yang menengarai terjadinya kejenuhan (levelling off) di sektor pertanian. Pertanyaannya adalah: mungkinkah ada revolusi hijau jilid kedua?

Tadinya saya termasuk di antara yang pesimis tentang kemungkinan adanya revolusi hijau II. Banyak indikator yang mendukung rasa pesimis tersebut. Pertama, sektor pertanian semakin tidak tergarap dengan baik khususnya pasca reformasi. Bahkan memiliki presiden yang doktornya di bidang pertanianpun tidak menjamin keberpihakannya pada pertanian dalam arti yang sebenarnya. Tidak tercermin adanya konsep pembangunan pertanian yang komprehensif. Kebijakan impor lebih disukai ketimbang membangun kemandirian bangsa di sektor ini.

Kedua, otonomi daerah ternyata telah memperparah situasi ini. Maju tidaknya sektor pertanian sangat ditentukan oleh bupati atau gubernur apakah yang bersangkutan pro pertanian atau tidak. Bupati yang pro pertanian akan berupaya membuat program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani secara nyata. Akan tetapi, bupati yang tidak suka dengan pertanian akan membuat pertanian menjadi semakin terpuruk, misalnya dengan kebijakan yang membuat hilangnya lahan-lahan pertanian yang subur untuk peruntukan lain.

Ketiga, dengan otonomi daerah Departemen Pertanian tidak lagi selincah dulu karena sudah tidak memiliki "tangan dan kaki" di daerah untuk memuluskan program-programnya. Oleh karena itu berjalannya program departemen pertanian akan sangat ditentukan oleh tingkat responsivitas daerah. Hal seperti ini menjadi tidak sehat karena program sektor pertanian yang komprehensif menjadi sulit diwujudkan.

Setelah melihat perkembangan terakhir, rasa pesimisme akan terjadinya revolusi hijau II menjadi berkurang. Inovasi-inovasi baru di bidang pertanian yang ramah lingkungan dan penggunaan input yang lebih rendah mulai bermunculan di masyarakat dibantu oleh LSM-LSM yang peduli. Pertanian organik semakin marak di mana-mana. Industri pupuk dan pestisida organik lokal juga mulai bermunculan. Bahkan rasa optimis meningkat setelah seorang putra terbaik bangsa, Umar Hasan Saputra, menemukan nutrisi yang dikenal dengan NS (Nutrisi Saputra) yang mampu meningkatkan produksi hampir dua kali lipat. Konon menurut penemunya, kelebihan dari nutrisi ini adalah hemat penggunaan pupuk, panen lebih cepat, dapat digunakan untuk berbagai tanaman, dan ramah lingkungan. Bahkan Saputra diundang secara khusus oleh presiden beserta para menteri dan gubernur atas temuannya ini.

Sudah cukupkah itu? Tentu saja belum. Belajar dari revolusi hijau I, keberhasilan program tersebut tidak lain karena dukungan penuh dari pemerintah. Institusi pertanian yang mendukung gerakan ini juga dibangun secara lebih tertata. Lembaga-lembaga riset dibidang pertanian digalakkan. Perguruan tinggi ikut terlibat dalam pelaksanaannya. Banyak jenis varietas baru dan konsep kebijakan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Namun revolusi hijau I menyisakan masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan yakni kemandirian petani. Pemerintah orde baru tanpa terasa telah menciptakan ketergantungan petani yang besar terhadap pemerintah. Pemerintah menentukan hampir semua aspek pengelolaan usaha tani. Melalui peraturan, petani tidak memiliki kebebasan untuk menanam komoditas yang diinginkan bahkan yang menguntungkan sekalipun. Petani lebih dipandang sebagai objek daripada sebagai subjek pembangunan. Akibatnya, setelah masa orde baru berlalu, maka petani menjadi kesulitan untuk mandiri.

Potensi masyarakat untuk membangun pertanian dan petani yang mandiri sudah berkembang pesat. Temuan-temuan baru yang mengarah pada pertanian yang lebih mandiri dan ramah lingkungan mulai nampak di permukaan. Akan tetapi pemerintah yang sekarang belum mau belajar dari kegagalan revolusi hijau I. Setiap program yang dilaksanakan masih berbau "proyek" dan bersifat rutinitas dengan capaian yang tidak jelas. Oleh karena itu, perilaku yang demikian harus segera direformasi yakni membenahi struktur birokrasi pertanian yang mengalami involusi tersebut. Sudah semestinya pemerintah 'merajut' seluruh potensi masyarakat, lembaga penelitian, perguruan tinggi pertanian, dan LSM dalam rangka membangun sistem pertanian yang mandiri dan berkesinambungan. Kalau tidak, maka revolusi hijau II hanya akan menjadi angan-angan belaka. Alhasil, semakin terpuruklah pertanian di negeri ini

Tidak ada komentar: